Wednesday, June 18, 2014

Sebuah Nama


Niki dan Keza, dua orang itu duduk tidak tenang sambil menyorongkan wajahnya ke depan . Sedangkan Gia yang duduk di seberang mereka, yang berperan sebagai pencerita, si pemegang kunci ketenangan batin sahabatnya malah sibuk mempermainkan mereka. Alih-alih mendongeng dia memilih melemparkan pandangannya pada langit senja, tersenyum pada awan putih yang terciprat warna-warna jingga.

Bohong! Jika ditilik dari logika manapun, sebenarnya dia tidak tersenyum pada awan yang biasa saja itu, awan jingga saat senja- apa istimewanya? Awan itu hanyalah alibinya untuk senyam- senyum sendiri agar tidak dianggap gila. Dan sampai sekarang, dia masih melakukan hal itu, tersenyum dalam wajah dreamy nya.

Kafe Halo- di bawah kantor tempat Gia bekerja ini tadinya ramai. Namun tanpa mereka sadar suara cakap-cakap pengunjung mulai hilang , berganti dengan backsound saxophone Keny G yang terdengar makin jelas.  Tinggal mereka bertiga, dan Miko-cheff andalan kafe ini.

Niki sudah habis kesabaran. Kata orang jelang maghrib banyak setan berkeliaran, dan mungkin salah satunya merasuki Niki. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi tangan gadis berambut cepak itu tiba-tiba saja menarik ujung jilbab lebar berwarna tosca milik Gia.

“Aaww, Nik!” Kepala Gia miring. Lamunannya pecah tercerai berai di lantai kafe.
“Makanya buruan cerita. Kita udah hampir berakar di sini!”
“Sabar, Nik.” Keza yang paling dewasa diantara mereka menenangkan.

Masih ada gurat-gurat kesal di wajah Niki, tapi ia menahan diri. Ia fokus lagi memandang Gia yang kembali cuek, gadis yang tiba-tiba jadi menyebalkan itu bukannya cepat-cepat memenuhi nafsu pendengaran Nik malah menyeruput hot chocolatenya yang tidak lagi hangat. Ia sengaja membiarkan dua sahabatnya penasaran.

“Giaaaa...!”

Bahkan harum cheese macaroni yang dipanggang Miko tidak bisa menghipnotis Niki untuk tenang lebih lama lagi.

“Iya-iya.” Gia mengalah. Kini ia berusaha mengambil posisi paling nyaman. Kakinya dilipat ke atas sofa, membuat rok sifonnya menjuntai begitu saja.

“Jadi, kemarin...”

Keza dan Niki berpandangan. Akhirnya pendengaran mereka akan mendapatkan hak dari apa yang seharusnya mereka dengar sejak semalam. Sebuah cerita tentang pertemuan penting itu.

Allahuakbar, Allahuakbar.

Pengingat sholat di ponsel Gia menjalankan tugasnya. Gia tersenyum curang, “Adzan , ladies. Dipending dulu ya.” Niki dan Keza protes, minta supaya sholatnya saja yang dipending.

Miko yang diam-diam memperhatikan mereka, ikut terkikik geli. “Bang Miko nguping ya?” Sewot Niki.
Miko mengangkat tangan, pura-pura tidak mengetahui apa-apa. Ia melanjutkan kerjaannya mengeluarkan cheese macaroni dari dalam microwave.

“Sholat yuk.” Ajak Gia ke kedua sahabatnya.

“Seperti biasa, aku lagi dapet.” Ujar Niki sambil melangkah cuek mendekati meja Miko. “Bang moccacinonya satu lagi.”

“Yuk Gi. Habis ini jangan sampai nggak cerita lagi.” Keza berdiri, meletakkan tasnya di sofa dan menggandeng lengan Gia.
**
“Hening.” Jawab Gia.

Mereka bertiga kini sudah bergerombol lagi. Kafe Halo mulai kedatangan tamu lagi. Beberapa kali Keza menengok ke arah pintu saat seseorang masuk.

Cerita dari Gia dibagi menjadi dua bagian. Prolognya adalah, dia menceritakan tentang bagaimana dia bertemu seorang pria secara “tidak wajar” lalu memutuskan untuk menikah dengannya. Bayangkan, Gia tidak pernah terlihat menggandeng lelaki manapun. Dan semalam tiba-tiba gadis itu menelpon kedua sahabatnya lalu memberikan kabar super mencengangkan. Niki yang sedang main PS dengan adiknya langsung melempar stick dan berlari ke halaman belakang untuk teriak-teriak. “Serius Gi, kamu bakal nikah? Mungut cowok di mana? Gimana ceritanya? Aku kenal nggak? Orangnya ganteng nggak? Bau ketek nggak?” Mendengar pertanyaan tidak penting itu Gia memutuskan untuk menutup telpon, sebagai balasannya Handphone Gia nge-hang karena inboxnya dipenuhi sms teror dari Niki. Lain lagi dengan Keza. Saat dihubungi, Keza sedang masak. Kabar itu pertama kali didengar oleh suaminya, “Darla, your besties akan menikah,” teriak suami Keza dari ruang tamu. Keza cuek karena dia pikir suaminya sedang membahas sinetron yang sedang ditontonnya. Dan paginya saat ia bertemu Niki, Keza berteriak girang tidak kalah heboh.

Bagian kedua, setelah kesehatan jantung Keza dan Niki diuji, setelah cerita bagian pertama menstimulus ledakan lava yang ada dalam diri mereka. Gia memaksa mereka untuk menahan diri lagi, karena dia memutuskan utuk shalat Isya dulu- baru setelah itu Gia membawa nama seorang lelaki ke hadapan mereka. Hmph...

“Hening Bayu.” Ulangnya dengan sedikit tambahan.

Niki mengerutkan kening “Hening Bayu Ganesha Adiswara?” tanyanya ragu.

Keza memandang heran ke arah Niki. Ngarang nama dari mana tuh? Tapi dia lebih heran lagi saat Gia mengangguk.

“Kamu kenal Nik?” Tanya Keza.

Niki menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. “Aku cuma iseng dan kuharap tebakanku tadi meleset. Demi apa, kulkas berjalan itu yang bakal jadi suami kamu Gi?” wajahnya cemas. Kulkas berjalan? Keza menatap bingung ke arah Niki.

Niki mengehela nafas sebentar, tangan berkuteks hitamnya mengambil moccacinno.

Glek.

Setidaknya kopi bisa membuatnya sedikit lebih kalem.

“Kalian harus tau. Terutama kamu Gi. Hening adalah penulis baru,” mata hazel Gia memandangi Niki lekat-lekat, ia tau Hening adalah seorang penulis. Dan gadis itu menunggu paparan sahabatnya mengenai calon suaminya. “Minggu lalu, Sekar minta aku buat ngedit naskah dia. Nah, siang tadi sekalian maksi[1] aku ketemuan buat bahas beberapa hal. And you know what?”

“What?” Keza ikut penasaran.

“Dingin. Dia dingiiiin banget. Pertama, dia nggak mau salaman sama aku. Emang tanganku berkuman apa? Kedua, hampir satu jam kita ngobrol, oke sebenerya lebih kaya interview karena dia nggak akan ngomong kalau nggak ditanya- dia nggak mandang aku sama sekali. Ya ampun, dia menyia-nyiakan kesempatan untuk memandangi tubuh makhluk Tuhan yang paling seksi di depannya. Stupid!” Umpat Niki kasar.

Gia nampak menahan geli. Diam-diam dalam hati ia merasa beruntung, keputusan kemarin ternyata keputusan yang tepat. Ia bahagia Tuhan mempertemukannya dengan orang se-shalih Hening. Ternyata Hening tidak hanya shalih di depan dirinya saja. Testimoni gratis dari Niki membuktikannya. Iya sih, Hening memang bukan orang yang cair, terkesan kaku. Tapi kalau sudah jadi istrinya, siapa tau? Gadis itu mengagguk-angguk rasanya ingin cepat tiga bulan lagi.

“Gi,” Keza menepuk tangan Gia.

“Ha, eh ya?”

“Are you ok?”

Gia tersenyum, “More than that!” Jawab Gia yang membuat Niki dan Keza bengong.

**

Percayakah, di langit sana ada sebuah nama yang sudah dituliskan untukmu? Nama itu seperti mutiara yang sangat dijaga. Bahkan penduduk langit tidak ada yang berani membocorkannya. Namun, bila tiba saatnya, secara khusus Tuhan akan meminta malaikat untuk membisikkan nama itu ke telingamu. Tenang, semuanya sudah diatur dengan sangat sempurna. Nama-nama itu yang milyaran jumlahnya tak akan tertukar satu sama lain. Malaikat-malaikat yang tidak pernah ingkar pada Rabbnya, tidak pernah sekalipun iseng untuk membisikkan nama yang salah ke telingamu.

Dan hari itu, Gia mendapatkan sebuah bisikan.

Sebulan lalu...

Pukul tujuh malam pulang dari kantor dia diminta mampir ke rumah Sofia. Seorang guru spiritual yang membuat Gia mengenal Islam lebih dalam. Sebenarnya dia agak enggan mampir ke sana, ia sudah lelah dengan pernyataan dan pertanyaan Sofia yang selalu diulang-ulang. Dan dia yakin, ketika sampai di sana masalah itu lagi yang akan dibahas.

“Kak Opi nikah dengan Bang Zena umur dua tiga. Nah sekarang Gia umur berapa? Dua lima kan? Kapan nikah? Nggak baik menunda-nunda.” Perlu diketahui, tiap pekan Gia harus bertemu dengan Sofia untuk mengaji. Dan dalam pertemuan itu ia selalu berhasil terlihat paling cupu karena semua teman ngaji sekelompoknya sudah menikah, bahkan beberapa mengaji sambil menggendong anak. Bisa dibayangkan semua anggota, oke mari ditekankan lagi SEMUA ANGGOTA yang berjumlah tujuh orang plus Sofia, menanyai Gia tentang pernikahan. Masih ada plusnya lagi, mereka mengiming-imingi Gia dengan bumbu-bumbu lezat seputar pernikahan yang baginya terdengar seperti cerita cinderella.

Ya Tuhan, tidak bisakah mereka berhenti bertanya? Bukankah pertanyaan kapan nikah, kapan melahirkan, kapan mati hanya Tuhan saja yang tahu jawabannya?

“Wallahualam Kak.” Itu adalah jawaban paling ringkas yang selalu jadi andalan Gia.

“Tapi rencana harus tetap ada, Gi...”

Ya ya ya, orang-orang yang belum menikah memang tidak boleh hidup tenang dan damai. Di dahinya seperti tercetak sebuah tulisan, “Halo, saya single. Doakan saya ya. Tanyakan kapan saya akan nikah juga, takutnya kalau nggak ditanyain, nanti si single ini akan lupa, ada seorang naip yang musti bekerja untuk menafkahi anak istrinya dari menikahkan orang-orang seperti saya.”


Gia memarkirkan mobilnya di sebrang rumah Sofia. Tadinya ingin parkir di car port seperti biasa, tapi ia melihat sebuah Pajero hitam nangkring dengan manis di sana. Punya siapa? batinnya.

“Assalamualaikum?” Gia masuk begitu saja karena pintu tidak ditutup. Lagi pula biasanya juga begitu. Dan pertayaan tentang pemilik Pajero itupun terjawab sudah.

“Waalaikumussalam.” Seorang lelaki yang sedang membaca majalah menjawab salamnya. Ia sempat mendongak sebentar, sepersekian detik beradu tatap dengan Gia, tapi kepalanya segera tertunduk lagi, fokus pada majalah di tangan.

 Gia sedikit kikuk, “Em, Kak Opi ada?” Tanyanya basa-basi. Kalau tidak ada tamu, sebenarnya Gia akan langsung nyelonong sambil teriak-teriak dari ruang tamu. “Kak Opiii, adik kesayanganmu datang.” Tapi kali ini ia tidak ingin terlihat konyol maupun kurang sopan.

“Kurang tau, saya juga baru datang.” Kata lelaki itu datar tanpa mengalihkan pandangan dari majalah yang dibacanya. Gia mengangguk-angguk. Tapi kali ini gadis itu mulai melakukan penilaian terhadap sosok di depannya.

Nih cowok siapa sih? Kok sok menjaga pandangan gitu? Menjaga pandangan apa sombong ya?
Ia amati dari kepala, rambutnya normal-nggak banyak pitak. Turun ke wajah, yah terlalu nunduk, tapi tadi kelihatannya ganteng sih, but im not sure, dan ia langsung paham ketika pandangannya menangkap beberapa helai jenggot pada janggut lelaki itu.

Oh ikhwan tulen, pantes. Tapi harusnya nggak gitu-gitu juga kali, kan kesannya jadi kurang sopan.

“Gia?” Sebuah sapaan membuat Gia dan laki-laki itu menoleh ke arah suara. Bang Zena rupanya. Ia membawa dua cangkir kopi dengan kedua tangannya.

“Kapan sampai sini? Sudah ditunggu Opi di kamar tuh.”

“Oh, Oke Bang.” Gia mengacungkan dua jempolnya.

Huf, Akhirnya. Gia lega Zena segera datang, ia adalah malaikat penyelamat bagi atmosfer serba rikuh yang baru saja ia alami.

Gia melangkah cepat-cepat ke arah tangga, sudah tidak betah berlama-lama di ruang tamu itu.

Saat kaki Gia menginjak anak tangga pertama, “Eh, Gi bentar. Sini dulu sebentar.” Apa lagi sih bang Zena? Dengan enggan Gia putar arah.

“Ya, Bang?” Katanya dengan malas-malasan saat sampai di ruang tamu lagi.

“Kamu masih jadi editor?” Gia mengangguk.

“Nah tuh, Hen.” Zena mengangkat dagu ke arah lelaki di dekatnya, seperti memberi kode. Tapi sayang kode Zena bertepuk sebelah tangan.

“Hen,” sekali lagi Zena memberi kode, mungkin meminta lelaki itu bicara atau tersenyum, atau apapun lah. Yang jelas melakukan gerakan lain selain menekuri majalah yang sudah berganti edisi.

“Bang, ini ada apa ya? Gia pengen buru-buru pulang nih.”

Zena menyerah. Ia menyandarkan punggungnya ke sofa sambil melirik ke arah tamunya, “Gini nih yang bikin nggak maju-maju, mau tanya aja pakai sok malu-malu.”

“Ya udah deh Bang, Gia ke atas dulu ya, kasian kak Opi nungguin. Entar kalau malunya udah ilang, boleh deh panggil Gia lagi.”

Gia bersiap pergi tapi sebuah suara menahan langkahnya. “Em, Gia maaf,”

“Hm?” Gadis itu berbalik menatap lelaki yang sekarang sudah melepaskan majalahnya. Kepalanya juga tidak terlalu menunduk lagi sehingga samar-samar Gia bisa melihat bagaimana rupanya. Lumayan. 

Meskipun tidak menekuri majalah seperti tadi, tetap saja lelaki itu melemparkan pandangannya ke arah lain, sekitar 120 derajat meleset dari mata Gia.

“Saya Hening. Sedang belajar menulis.” 

"Lalu?"

“Saya ingin tahu caranya menerbitkan buku, bisa dibantu?” Gesturenya begitu kaku. Seperti diikat sesuatu.

“Ya ampun, mau tanya masalah itu to? Klik aja web penerbit tempat aku kerja di sana informasinya lengkap banget kok.” Gia lalu menyebutkan alamat web penerbitnya plus nomor handphone-nya siapa tahu ada bahasa yang tidak dipahami oleh Hening. Dan setelah Hening mengucapkan terimakasih, ruang tamu itu menjadi sunyi kembali.

 “Udah kan? manggil sekali lagi bayar.” Tentu saja candaan itu ditujukan pada Zena, bukan pada Hening yang dimatanya terlihat bagai zombi. Kasihan penulis ini, pasti hidupnya kesepian. Batin Gia saat beranjak ke kamar Sofia.
**
“Gimana Gi?”

Gia menautkan alis, tidak paham dengan pertanyaan Sofia. Ia baru saja masuk kamar lalu menutup pintu pelan-pelan karena Akmal anak Sofia sudah tertidur di box bayi, dan Sofia menanyainya “Gimana?”

“Gimana menurutmu? Hening Oke kan?”

Tunggu, tunggu. Hening? Apa hubungannya Hening dengan... Oh akhirnya gadis polos itu sadar telah dijebak.

“Kak Opi! Jangan bilang Kak Opi dan Bang Zena bersekongkol untuk jodohin aku sama dia.” Konspirasi ini membuat Gia kesal. Tapi demi melihat Akmal yang tertidur sambil menghisap ibu jari-tanda sangat pulas. Gia menahan suaranya.

“Tenang adikku. Nggak ada yang mau jodohin kamu. Toh nama jodoh kamu tuh udah tertulis di lauh mahfudz sana.”

“Terus apa maksudnya nanyain tentang Hening ke aku?”

Gia meletakkan tasnya di kursi lalu melepar tubuhnya ke atas kasur. Tubuh mereka terpantul-pantul beberapa saat.

Sofia memiringkan tubuhnya, menahan kepala dengan tangan. Sedangkan Gia memilih memeluk bantal sambil tengkurap, “Kak Opi tanya tentang tulisan Hening. Bukan yang lain-lain, soalnya kata Bang Zena tulisan Hening itu bagus, nah kak Opi pengen kamu baca. Gitu.” jelasnya sambil menahan geli.

Hah?

Gia membelesakkan wajahnya ke bantal. Berharap tulisan malu yang ada di wajah itu pindah ke bantal dan dia bisa mengangkat kepalanya sambil bilang, “Oh, gitu,” dengan santai seperti tidak terjadi apa-apa.

“Aku belum baca tulisannya,” suara Gia tidak jelas karena tertahan bantal.

“Oh, ya nggak usah malu gitu kali Gi. Kaya sama siapa aja.”

“Aaaa, kak Opi.” Gia menyerah, ia segera duduk dan siap jika Sofia ingin melemparinya dengan berbagai macam bentuk godaan atau ejekan. Tapi apa yang ditunggu-tunggunya itu malah tidak kunjung datang.

“Jadi, Kak Opi manggil aku ke sini cuma buat baca tulisannya Hening?”

“Iya.”

“Ya ampun Kak, kan bisa disuruh datang ke kantor. Atau buka website kantor aja. Kenapa musti aku yang repot-repot datang ke sini?” protesnya, masih dengan volume sedang, Akmal nampak terusik dengan perbincangan manusia dewasa itu, beberapa kali ia membolak-balik tubuh.

“Dia itu pemalu banget Gi,” Kali ini sorot mata Sofia begitu serius. “Kayaknya, dia butuh istri deh.”Mata Sofia menerawang.

Hah?

“Kak? Kak Opi sehat kan? Tadi Gia ngomongin jodoh Kak Opi bilang tentang tulisan. Sekarang baru serius bahas tulisan kak Opi ngomongin istri. Gia nggak mau jadi istri dia. Kaya zombi gitu. Hii, ngeri ah.”

“Loh, memang kak Opi minta Gia jadi istrinya?”

Glek.

Apa sih maksud Kak Opi?

Gia cemberut. Ia sungguhan kesal dikerjai begini, nggak lucu. Mana besok pagi harus mimpin rapat lagi. Harusnya kan jam segini dia sudah bisa sleeping beauty di rumah. Kalau tau kehadiarnnya ke rumah ini cuma menghasilkan ketidakjelasan mending dia nggak usah datang.

“Kak, udah deh main sinetronnya. Sebenernya Gia diminta ke sini buat apa?” Kali ini gadis itu serius. Sofia mencoba kalem menghadapi seseorang yang sudah dianggap sebagai adiknya itu.

“Iya deh Kak Opi ngaku. Kak Opi dan Bang Zena ingin kamu ketemu Hening,”

Gia hendak protes, mulutnya sudah terbuka tapi buru-buru ditahan oleh Opi, “Dengerin kak Opi dulu. Hening ikhwan yang sangat shalih. Sudah tiga tahun dia ngaji sama Bang Zena, dan nggak ada catatan buruk tentang dia kecuali sifatnya yang sangat pemalu. Tapi  menurut kak Opi malu itu tidak bisa dihitung sebagai keburukan kan?”

Wajah Gia masih terlihat tidak suka. Selama ini ia merasa umurnya belumlah masuk ke taraf mengkhawatirkan bagi seorang single. Dua puluh lima tahun. Dia belum nenek-nenek dan dia yakin dalam usia produktif dia akan segera dapat pasangan sehingga mereka bisa punya anak. Ketakutan berlebih tentang expired date sebuah rahim tidak akan dia alami. Dia yakin itu. Jadi dia tidak perlu dipaksa dan dijebak seperti ini meskipun maksudnya baik.

Sofia meraih tangan Gia dan membelai telapaknya, “Kak Opi dan Bang Zena minta maaf kalau Gia nggak suka dengan cara ini. Tapi ceritanya sebenarnya gini,” Sofia menarik nafas, “Hening sedang galau cari pendamping. Lalu Bang Zena ajak dia main ke rumah supaya bisa cerita santai. Nah sebelumnya, Bang Zena pernah cerita, kalau Hening pernah bikin novel yang bagus, kak Opi minta tolong dibawakan sekalian. Dan entah kenapa seperti dapat ilham tadi jam limaan tiba-tiba kak Opi langsung kepikiran kamu yang kerja di penerbitan. Wah, pas banget kan? Makanya kakak undang Gia sekalian. Siapa tau bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus. Jodoh kerjaan, dan jodoh yang lainnya.” Kerling Sofia.

Gia yang sudah agak tenang balas menggenggam tangan Sofia, “Kak Opi, terimakasih sudah mengupayakan segala cara untuk menendang status single Gia. Tapi nggak harus kaya gini juga. Harusnya kak Opi jujur dari awal.”

“Yakin kamu bakal dateng kalau kak Opi jujur?”

Gia meringis, “Nggak sih.”

“Umi, Hening pamit,” Suara Zena terdengar dari luar pintu.

 “Aduh Bi, Umi malas pakai jilbab nih. Tolong sampaikan selamat jalan ya. Oh iya tulisannya jangan lupa ditinggal buat bacaan Umi.”Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki menjauh.

“Ya kalau Gia nggak suka nggak papa. Masih banyak ikhwan bujang di luar sana. Tapi yang seshalih Hening, kak Opi nggak tau ya, masih ada stock atau enggak.” Ini namanya promosi terselubung dengan menambahkan formula rasa khawatir.

Gia diam. Memikirkan jawaban yang paling tepat untuk promosi bernada ancaman dari Sofia. Belum sempat menjawab,“Tapi kalau kamu ingin tau tentang dia lebih jauh, Kak Opi siap bantu.”

“Mi,” Kepala Zena menyumbul dari balik pintu.”Nih tulisannya,” tangan kanan lelaki itu mengangsurkan sebindel tulisan yang langsung diterima oleh istrinya. “Abi rapat RT dulu udah ditungguin bapak-bapak, have a nice dream umi.” Pamit Zena sok romantis yang membuat Gia geli.

“Tuh Gi, kalau udah nikah, tiap malem akan ada yang ngucapin have a nice dream. Met bobok. Kamu, ada nggak yang ngucapin have a nice dream ke kamu?” Goda Sofia.

“Ada Kak, noh cicak.” Jawab Gia cuek. Sofia terkekeh, tangannya mulai sibuk membuka halaman-demi halaman tulisan Hening di tangannya.

“Gi, Gi... baca deh, menurut kamu bagus nggak?”

Gia sudah tidak bersemangat membaca tulisan lelaki itu. Tapi demi menghormati Sofia ia meraih juga sebindel tulisan dari tangan Sofia.

Amazing.

Itu yang ada di kepala Gia saat membaca alenia pertama tulisan Hening. Benar-benar sejuk. Sebagai seorang editor instingnya mengatakan tulisan ini akan laku di pasaran. Dia tidak menyangka lelaki sekaku Hening bisa menuliskan kontemplasi sedalam ini.

“Gimana Gi?”

“Biasa aja, masih butuh banyak polesan.” Ujarnya sedikit bohong. Gengsi lah.

“Tapi bisa kan masuk ke penerbitan kamu?”

Gia mengendikkan bahu, “Duh, Gia nggak janji ya. Tapi coba Gia bawa dulu ya naskahnya.” Sofia mengangguk.

Yes, kalau seperti ini kan tidak ketahuan bahwa sebenarnya Gia penasaran dengan kelanjutan alenia pertama. “Ya udah deh Kak, Gia pamit.”
**
Gia duduk dalam mobil, melemparkan sebuah naskah di kursi sebelahnya, Sebelum menginjak gas gadis itu menyapu cover halaman naskah yang baru dimiliknya “Dalam Tempurung Hujan oleh Hening Bayu.” Begitu yang tertera di sampul.


 bersambung






[1] Maksi : makan siang

0 comments:

Post a Comment

 
 
Copyright © eleGIA
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com